My Coldest CEO

30| Worst Destiny



30| Worst Destiny

0"KENAPA HARUS FELIA, LEO? JAWAB! LAKI-LAKI BRENGSEK, TIDAK MEMILIKI HATI!"     

Mendengar pekikan yang masuk ke dalam telinga samar-samar, Felia yang sedang berniat membersihkan diri karena ulah Leo terhadapnya ini pun langsung saja menaikkan sebelah alisnya. Ia sedang mengeringkan rambut dengan handuk kecil, lalu menaruh handuk tersebut ke gantungan dan langsung saja meraih sisir untuk menata rambutnya.     

"Kok kayak suara Ica, ya?"     

Tidak tahu dirinya belum tersambung koneksi dengan otaknya, tapi tiba-tiba saja kedua bola matanya membelalak lebar. Tunggu, "ICA?!" pekiknya yang langsung melempar sisir yang berada di tangannya sampai terlempar ke dinding dan mantul ke lantai.     

Ia segera berlari kecil, keluar kamar mandi untuk melihat keadaan di luar kamar mandi. Langkahnya melambat kala melihat Azrell yang sedang sibuk memukul" dada bidang Leo dengan sangat ganas. Tangisan memilukan terdengar jelas, masuk ke dalam indra pendengarannya.     

"KAMU GAK TAU KAN SAKITNYA JADI AKU? KAMU GAK TAU GIMANA NUNGGU KABAR KAMU DAN KAMU GAK TAU GIMANA RASANYA NUNGGU?! SALAH AKU KALAU AKU PERGI DARI KAMU, IYA?!"     

Felia menutup mulutnya karena terkejut dengan Azrell yang kehilangan kendali seperti itu, bahkan kedua matanya kini mulai berkaca-kaca. Apalagi saat dirinya tahu kalau Leo, di biang pemicu ada di dalam rumahnya.     

Ia hanya mematung di sudut ruangan, tidak ingin kehadirannya memperkeruh suasana.     

"Saya gak pernah ada niatan untuk hilang kabar dari kamu, Azrell. Saya sibuk, saya memiliki banyak kegiatan yang gak mungkin selalu mengikutsertakan kamu." jawab Leo yang terlihat menahan kedua tangan Azrell yang sedaritadi ganas menghujam dirinya.     

Felia tidak pernah melihat Azrell yang sepertinya ini, dengan kedua tangan yang sudah mencengkram ujung baju ia pun memutuskan untuk berjalan kembali dengan perlahan ke arah mereka berdua yang tengah beradu suasana.     

"Ica?" panggilnya dengan suara parau. Hatinya seolah-olah terkikis melihat Azrell yang menangis tanpa henti, apalagi sampai sesegukkan. Baginya, sakitnya Azrell juga sakitnya ia. Jadi, dirinya merasa bersalah kalau dirinyalah yang membuat wanita tersebut menangis.     

Seseorang dengan nama panggilan darinya yang khusus itu pun mulai menoleh ke arahnya, tentu saja sudah melayangkan sorot mata penuh permusuhan dari Azrell. "Oh jadi kamu kan yang jadi wanita pilihan Leo selanjutnya?! DASAR JALANG TIDAK TAHU DIRI!"     

Kedua bola mata Azrell terlihat membulat lebar dan berwarna merah, menahan kekesalan yang sangat ketika melihat Felia dengan wajah polos lugu.     

Mendengar ucapan Azrell yang tentunya sangat menyakitkan itu, tentu saja Felia menggeleng lemah. "Please, Ca... aku gak tahu apapun." lirihnya dengan kedua mata yang sudah merosot sendu. Ia berhenti tepat di belakang Leo, seolah-olah berkata tanpa suara supaya dirinya terlindungi dari Azrell yang seperti ingin menjambak dirinya.     

"Halah, gak usah sok lugu. Aku tau kamu punya banyak waktu luang di malam hari, mustahil kamu kenal Leo tapi gak kenal siapa kekasihnya!"     

"Tapi, Ca--"     

"Gak perlu lagi panggil aku dengan nama Ica! gak sudi aku kenal sama kamu, percuma orang yang aku sayang tapi giniin aku!"     

Leo yang melihat pertengkaran mereka pun langsung saja memundurkan tubuhnya dengan tangan yang melepaskan tangan Azrell begitu saja, ia menyamai pijakannya dengan Felia. "Sebaiknya kamu pergi saja sebelum memperkeruh suasana, Azrell." ucapnya dengan raut wajah datar, nada bicaranya pun sedingin es tapi tidak bisa mengalahkan kedinginan sang putranya, Vrans.     

Mendengar nada bicara Leo yang berubah, tentu saja membuat Azrell menatap tidak percaya ke arah laki-laki tersebut. "Apa? kenapa kamu membela Felia, huh? memangnya dia sudah merasakan kenikmatan tubuh mu?" ucap Azrell dengan nada serak karena menahan sesak sampai tenggorokannya terasa kering, ia memicingkan kedua bola matanya seperti menelusuri kedua manik mata milik sang mantan kekasih.     

Leo menarik smirk sampai terlihat jelas di permukaan wajahnya yang tampan. Tangan kirinya segera menarik pinggang Felia, sehingga wanita tersebut langsung menubruk dada bidangnya. "Kalau iya, memangnya kenapa?" jawabannya yang malah mengucapkan pertanyaan yang tentu saja menyulut emosi Azrell.     

Sedangkan Felia? Ia kini sibuk menatap Azrell dengan sorot mata penuh pemaafan. Ia tahu karena seharusnya tidak melakukan hal ini, tapi mau bagaimana pun juga pasti hasrat akan menarik seseorang yang sudah diselimuti oleh nafsu, apapun caranya. "Sudah Tuan, hentikan." cicitnya sambil menggenggam erat jemari Leo yang berada di pinggangnya.     

"Oh jadi benar dong sebutan aku untuk JALANG, iya kan?" tanya Azrell dengan sinis dan menaikkan volume saat menyebutkan kata yang terdengar sangat kasar untuk dilontarkan kepada sang lawan bicara.     

Dada Felia terasa sesak kaa mendengar ucapan Azrell, tangan kanannya mulai meraih lengan wanita yang berada di hadapannya dengan raut wajah yang sudah berantakan. "Ca, maafin aku..." ucapnya dengan suara melemah.     

Azrell menepis kasar tangan Felia, lalu berdecih kasar untuk wanita itu. "PERGI DARI RUMAH AKU, KAMU DI PECAT! AKU AKAN BILANG DADDY SUPAYA TIDAK ADA TEMPAT KERJAAN MANAPUN YANG BISA MENERIMA KAMU, JALANG!"     

Menyakitkan. Itulah yang di rasakan Felia. Selama ini, mereka selalu menghabiskan waktu dengan canda tawa tanpa adanya air mata permusuhan dan pertengkaran. Tapi saat itu terjadi, rasanya langsung sesakit ini. Jantungnya memompa cepat karena terkejut dengan keadaan ini.     

"Jangan omongan kamu ya, Azrell!" seru Leo dengan menggeram sebal. Bagaimana tidak? Kalau hubungan sudah kandas, bukan hak bagi sang mantan untuk menghakimi orang yang sudah masuk ke dalam kehidupan kita. Dan ya, ia sangat tidak suka dengan perilaku Azrell yang seperti itu.     

"Oh apa, kamu mau ngebela jalang? Aku udah ajak kamu berhubungan seksual sampai aku merengek, bahkan kamu sama sekali tidak setuju. DAN HEBATNYA JALANG INI KAMU SETUJUI? SEMPURNA!"     

"Saya gak ngerusak dia, saya juga gak membobol kewanitaannya. Kamu suka sekali salah paham, dan selalu mengatasnamakan emosi."     

Felia mendengar pertengkaran itu dengan sangat jelas. Ia hanya ingin makan malam setelah lelah 'berolahraga' bersama dengan Leo. Ia hanya ingin kehidupan yang aman dan damai, bukan yang seperti ini. "Iya, aku akan keluar dari rumah ini, Ca. Tapi aku mohon kamu jangan marah-marah terus, nanti kamu nge-down." ucapnya dengan nada suara yang masih tulus.     

Tes     

Satu bulir air mata yang sedaritadi di tahan olehnya sudah meluruh, membasahi pipi dengan aliran yang lembut namun terasa menyakitkan.     

"Nah gitu dong tau diri, jalang itu cocoknya tinggal di kolong jembatan. Bukan di pekarangan rumah mewah, bersama sang putri." balas Azrell dengan sinis. Ia menghapus air matanya, meninggalkan jejak kering yang membekas di pipi. Kini, sudah jelas tidak ada yang perlu untuk di cemburukan dari seorang Felia.     

Leo tidak suka mendengar ucapan Azrell yang menurutnya sudah termasuk ke dalam penghinaan, ia langsung berdehem membuat suasana menginterupsi kepadanya. "Kalau menurut mu jalang ini lebih cocok di kolong jembatan, maka menurut saya wanita yang bisa menjaga mahkotanya sampai umur yang cukup matang untuk menikah ini akan tinggal bersama raja. Dipenuhi segala fasilitasnya, dan tidak akan memiliki seorang selir pengganti." ucapnya dengan nada dingin. Ia semakin mengeratkan tangannya di pinggang Felia, seolah-olah menyalurkan kekuatan yang di milikinya untuk wanita tersebut.     

Azrell membelalakkan matanya. Ia tidak habis pikir dengan jalan Leo yang sangat aneh. Sudah gemar bergonta-ganti pasangan, tapi kini dengan sangat santai mengatakan 'tidak akan memiliki seorang selir pengganti' cih, bahkan kenyataan tidak akan pernah mendukung perkataan itu. "Jangan mimpi, seorang raja selalu membutuhkan selir, entah itu yang bekas sekalipun."     

Felia menatap Azrell dengan berani. Kalau wanita itu bisa menghina dirinya sejauh ini, kenapa ia masih bersikap biasa saja seolah-olah penghinaan itu bukanlah hal yang menyakitkan?     

"Azrell, cukup ya kamu. Aku tau gimana jasa kamu di hidup aku, tapi kamu gak bisa mencela aku dan memberikan diriku dengan predikat jalang. Itu sangat tercela, dan tentu saja tidak berperikemanusiaan, Azrell."     

Leo menatap Felia, terlihat wanita itu memancar kesedihan yang sangat namun di tahan sampai bibir ranumnya mulai bergetar. Ia dengan perlahan mengusap lembut pinggang Felia, ia mungkin tidak tahu bagaimana rasa sakitnya di berikan perkataan seburuk itu oleh seseorang yang di sayang.     

"Oh berani ya? mentang-mentang punya kekasih yang memiliki kekuasaan besar, kamu bisa menentang ku? sungguh bagus sekali permainan mu, Felia. Selamat, kamu berhasil menghancurkan kepercayaan seseorang yang sudah menolong mu dari nol." balas Azrell sambil bertepuk tangan renyah di akhir kalimatnya.     

"Cukup Azrell! Mau kamu yang pergi, atau kita yang pergi dari sini?" tanya Leo yang sudah mulai muak dengan ucapan pedas yang selalu dikatakan oleh Azrell.     

Wanita memang pandai sekali menyakiti hati sesama jenis saat melihat orang yang di sayangi lebih memilih lain hati. Kejam? tentu saja tidak, itu sebuah pembelaan karena hatinya belum merelakan.     

"Tentu saja lebih baik kalian yang berhenti, si brengsek dan si pengkhianat. SANGAT SERASI,"     

"Jaga ucapan kamu, Azrell! wanita tidak pantas berkata kasat sampai menyakiti hati wanita lain." tegur Leo yang masih belum bisa mengendalikan Azrell, wanita tersebut masih tampak emosinya dengan jelas.     

Azrell berdecih, "tidak peduli. Seorang pengkhianat tidak akan bisa hidup bersanding dengan orang yang di khianati."     

Bibir Felia bergetar, rasanya ia ingin membalas setiap inci ucapan Azrell yang terdengar menyakiti hatinya. Bahkan, jangankan membalas, ingin mengeluarkan satu kata yang mewakili seluruh perasaannya saat ini pun tidak bisa.     

"Baiklah kalau itu mau mu, ingat ya Azrell. Ini bukan tentang Felia yang merebut saya dari kamu, ini tentang keegoisan dan rasa tidak rela dari kamu. Jangan membuat takdir semakin mencampakkan dirimu, Tuhan tidak suka dengan seseorang yang pandai bersandiwara." ucap Leo dengan deretan kalimat yang terdengar sangat menghujam hati.     

Felia mengerjapkan kedua bola matanya, lalu menghembuskan napasnya. "Aku pamit, Azrell. Terimakasih, dan maaf." Walaupun hanya kalimat itu yang keluar dari mulut, setidaknya ia mampu memberikan ucapan perpisahan.     

Setelah itu, ia mengikuti langkah Leo yang kini tangannya sudah berada di genggaman laki-laki tersebut tersebut. Ia bahkan melihat dengan jelas kalau Leo menyingkirkan tubuh Azrell supaya tidak menghalangi jalan keluar mereka.     

"Apa ini pilihan yang tepat, Tuan?" tanya Felia dengan volume suara yang kecil. Ia merasa kalau mengikuti ucapan Azrell yang tengah marah, sudah pasti nantinya wanita itu akan menyesal.     

Leo menaikkan sebelah alisnya, ia tetap menggenggam erat tangan mungil Felia. "Masih ingin di injak-injak oleh Azrell? kalau masih, silahkan kembali."     

Bergeming, Felia rasa ucapan Leo benar adanya. "Ta-tapi... seluruh peralatan ku dan barang-barang ku ada di sana." cicitnya.     

Untung saja, setelah melakukan kegiatan panas sebelum makan malam, Leo segera membersihkan tubuh. Mengenakkan pakaian ganti yang memang selalu berada di tas kerjanya, jadi semuanya masih serba baru di pakai bukan bekas keringat karena 'olahraga' di malam hari.     

"Nanti saya belikan,"     

"Lalu, aku juga tidak punya tempat tinggal. Baju ku dan semua aksesoris ku masih ada di sana."     

Mereka menghentikan langkahnya tepat di samping mobil Leo, dengan si empunya menatap ke arah wanita yang berada di dekatnya. "Nanti seluruh kebutuhan kamu dan semua barang-barang kamu, saya yang belikan. Tidak perlu repot-repot memikirkan apapun itu,"     

"Temani aku kembali ke sana untuk mengambil barang-barang penting, Tuan. Please..."     

Felia menatap Leo dengan tatapan berkaca-kaca, seolah-olah itu adalah permohonan yang harus dipenuhinya pada saat ini juga.     

Leo menghembuskan napasnya, lalu menganggukkan kepala, pasrah. "Baiklah, tapi tidak ada perdebatan apapun itu lagi. Jangan dengarkan apa yang di katakan Azrell, oke?"     

Felia hanya menganggukkan kepalanya dengan gerakan perlahan, ia sudah lelah dengan semua kejadian yang tadi menimpa dirinya. "Terimakasih, karena kedatangan Tuan aku jadi tahu siapa yang pantas dan siapa yang tidak pantas tinggal di kehidupan aku." ucapnya sambil mengulas sebuah senyuman tipis.     

Satu yang Felia tidak prediksi sebelumnya, ia akan kehilangan orang yang mengangkatnya sampai berada di kehidupan yang sekarang.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.